Penulis : Clara Nadia Adigunawan & Phebe Liana Widjaja
[masterslider id=”7″]
Lagi-lagi, secara tidak sengaja, media sosial telah menjadi lapak yang menerbitkan standar tubuh bagi wanita maupun pria. Meskipun tujuan awal dibentuknya media sosial adalah untuk mempererat hubungan sosial, maupun memposting foto dan video sebagai bentuk kenangan, terlihat sangat jelas bahwa media tersebut membuahkan kebiasaan membanding-bandingkan tubuh sendiri dengan milik orang lain. Ironisnya, penerimaan diri yang seharusnya sebuah kelumrahan, adalah tantangan yang berat. Sebagai solusi, gerakan body positivity menjadi sebuah trend yang dinormalisasi untuk menggalakan semangat penerimaan diri. Meskipun tampak sederhana, gerakan ini dapat membangun mental bagi yang sebelumnya merasa insecure, menjadi lebih percaya diri. Namun, ada pula yang melihat tanda-tanda normalisasi obesitas pada gerakan tersebut. Mereka menganggap body positivity sebagai pintu jalan masuknya obesitas ke dalam gaya hidup mereka. Dari sini, apakah sebenarnya body positivity memperbaiki kesehatan mental, atau justru mempromosikan obesitas? Kemudian, bagaimana penerapan body positivity yang tepat, agar tidak berujung ke penerapan gaya hidup yang tidak sehat?
Pertama, permasalahan steroptip standar tubuh di media sosial didasarkan pada teori perbandingan sosial. Menurut Festinger (1954), manusia cenderung mengukur harga diri dengan membandingkan kelebihan dan kekurangannya dengan orang lain. Perbandingan tersebut terjadi saat individu membuka media sosial. Bersumber pada Tiggemann, Polivy, & Hargreaves (2009), upward comparison (saat orang lain lebih baik daripada kita sendiri), pada awalnya memberikan efek positif; namun pada akhirnya juga memberikan efek negatif. Dampak tersebut dapat berlaku pada fitspiration. Sebuah studi menjelaskan bahwa efek awal dari melihat suatu postingan dapat membuat seseorang menjadi kompetitif untuk berkembang. Tetapi, lama-kelamaan dapat menyebabkan efek negatif pada mental dan kesehatan. Salah satu tandanya adalah saat seseorang memulai diet ekstrem demi mencapai tujuannya.
Berdasarkan studi dari Bessenoff (2006), mahasiswi yang melihat iklan bergambar wanita yang mendekati tubuh ideal menjadi tidak puas terhadap tubuhnya dan memiliki suasana hati yang kurang baik. Ditambah lagi, hampir 70% remaja putri telah mencoba mengikuti program diet karena merasa gemuk. Perasaan tersebut menyebabkan rendahnya kepercayaan diri, binge eating disorder (BED), dan lain-lain. Behaviour Eating Test (BET) juga menunjukan bahwa emosi individu: depresi, kecemasan, kelelahan, dan lain-lain memberi dampak pada pola makan seseorang. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa orang yang kurang percaya diri terhadap tubuhnya, terhambat dari menjaga kesehatan. Padahal, perbedaan citra tubuh yang kita miliki sebagai manusia adalah suatu karunia yang harus diterima dengan penuh cinta, bukan kebencian, dan kecemburuan. “Citra tubuh adalah pandangan individu mengenai penampilan badannya di hadapan orang lain” (Samosir & Sawitri, 2015). Sudah sewajarnya, citra tubuh setiap orang bervariasi dalam bentuk, ukuran, massa, dan aspek tubuh lainnya. Karena itu, agar dapat menghindari segala bentuk ketidakpuasan tubuh, binge eating disorder, dan tubuh yang tidak sehat, sebaiknya kita mulai menerapkan body positivity.
Salah satu poin positif dari gerakan tersebut, ialah perannya dalam membangun mental yang kuat. Berkat ajaran body positivity, seseorang dapat bertahan dalam situasi yang kurang menyenangkan, seperti ketika mengalami ketidakpuasan pada citra tubuh (Mukhlis, 2013). Menurut Tylka & Homan (2015), perilaku dan kesehatan mental membantu meningkatkan stamina, daya tahan tubuh, dan suasana hati. Hal tersebut berbeda dengan fitspiration yang hanya berfokus pada penampilan. Dalam ajarannya, body positivity menghargai perbedaan pada citra tubuh di suatu golongan masyarakat. Sehingga, secara perlahan, seseorang dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri saat mengaca, maupun ketika menjadi pusat perhatian orang lain. Selain itu, tanpa body positivity, ada peluang lebih besar munculnya depresi maupun kekhawatiran terhadap massa tubuh, akibat ketidakpuasan yang tumbuh tanpa henti (Kostanski dan Gulleno, 1998).
Walaupun body positivity berhasil memberi dukungan mental, sebuah jurnal ilmiah ‘Obesity’ menyatakan bahwa normalisasi plus size berkontribusi
dalam budaya overweight dan obesitas. Jurnal tersebut sebenarnya belum dapat dikonfirmasi benar karena dianggap menyesatkan dalam fungsinya (Alleva & Tylka, 2018; Stewart, 2018). Meskipun begitu, jurnal ini dapat memberikan gambaran atas alasan mengapa body acceptance atau body positivity masih belum bisa diterima sebagai gaya hidup yang sehat untuk beberapa orang. (Puhl & Heuer, 2009).
Meskipun belum ada bukti yang telah dikonfirmasi oleh ahli mengenai pengaruhnya body positivity terhadap obesitas; sebaiknya, kita tetap memahami lebih dalam penerapan gerakan body positivity, agar tidak melenceng ke gaya hidup yang tidak sehat. Perlu diketahui, memang self love terhadap tubuh dapat menjadi sedikit toxic apabila dilakukan secara berlebihan. Tanda-tanda bahwa self love dilakukan secara berlebihan adalah ketika kita merasa puas dengan keadaan tubuh. Sehingga, tidak ada keinginan untuk berubah untuk menjadi pribadi yang lebih sehat. Apabila keinginan untuk berubah hilang, akan timbul gaya hidup yang dipenuhi kenyamanan, kesenangan, dan kepuasan; kesehatan tubuh juga tidak lagi dijaga. Perlu diingat bahwa body positivity bukan sekedar menerima citra tubuh, tetapi juga mengembangkan kegunaan dan kesehatan tubuh. Itulah konsep awal dari body positivity yang perlu ditekankan sehingga tidak diterapkan dengan cara yang salah.
Sebagai rangkuman, akibat adanya media sosial, rasa insecurity lebih unggul dibandingkan kepercayaan diri. Hal ini dikarenakan adanya perasaan bahwa kita belum dapat memenuhi standar tubuh yang dibentuk oleh media sosial. Oleh karena itu, body positivity menjadi solusi pertama dan akhir dari permasalahan tersebut. Menurut Bray, Slater, Lewis-Smith, Bird, dan Sabey (2018), gerakan tersebut dapat lebih bermanfaat dalam mencegah obestias daripada media yang secara eksplisit mempromosikan dan berfokus pada pengendalian berat badan. Tidak hanya itu, body positivity memiliki relasi yang kuat dengan kesehatan mental, karena dapat melatih kita untuk bertahan dalam situasi stres. Body positivity diterapkan dengan mencintai tubuh, serta memperhatikan kegunaan dan kesehatan tubuh, dalam proses berubahnya diri menjadi pribadi yang lebih sehat. Kesimpulannya, body positivity yang diterapkan dengan benar akan sangat worth it bagi fisik dan psikis kita.
Daftar Pustaka
Cohen, R., Newton-John, T., & Slater, A. (2020). The Case for Body
Positivity on Social Media: Perspectives on Current Advances and Future
Directions, 3-4 & 10-13.
Gelsinger, A. (2021). A Critical Analysis of the Body Positive Movement
on Instagram: How Does it Really Impact Body Image?. Spectra Undergraduate
Research Journal, 1, 47-55.
Hosie, R. (2021, Jan 23). Health professionals are divided over whether
obese people should be encouraged to lose weight or not. Insider. Diunduh di
https://www.insider.com/body-positivity-obesity-weight-loss-taboo-can-overweig
ht-be-healthy-2021-1 tanggal 10 Januari 2022.
Lewallen, J., & Behm-Morawitz, E. (2016). Pinterest or Thinterest?:
Social Comparison and Body Image on Social Media. Social Media + Society.
https://doi.org/10.1177/2056305116640559
Mukhlis, A. (2013). Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif Pada
Ketidakpuasan Terhadap Citra Tubuh (Body Image Dissatisfaction). Jurnal
Psikoislamika, 10 (1), 5-10.
Samosir, D., & Sawitri D. (2015). Hubungan Antara Citra Tubuh Dengan
Pengungkapan Diri Pada Remaja Awal Kelas VII. Jurnal Empati, 4 (2), 14-19.
Stanford, F., Tauqeer, Z., & Kyle, T. (2018). Media and Its Influence on
Obesity. Current Obesity Reports, 2.
Talen, M. R., & Mann, M. M. (2009). Obesity and Mental Health. Primary
Care: Clinics in Office Practice, 36(2), 287–305.