(BOPOSI) “Peranan Body Positivity Bagi Kesehatan Secara Fisik Maupun Psikis, serta Korelasinya dengan Body Image, Self Love, dan Pencegahan Peningkatan Kasus Bunuh Diri”
31 Januari 2022
Berapa Lama Psikotes Online
Berapa Lama Psikotes Online?
23 Mei 2022

BODY POSITIVITY: PENTINGNYA KESEIMBANGAN ANTARA KESEHATAN MENTAL DAN FISIK

Penulis : Giscka Chaerani Putri dan Kannitha Atalla Shedhe

[masterslider id=”8″]
Di Era digital seperti saat ini, perkembangan internet semakin pesat di kalangan masyarakat. Salah satu produk dari internet adalah media sosial. Dengan adanya media sosial, penampilan fisik menjadi standar penilaian yang penting terhadap orang lain, sehingga terbentuklah citra tubuh atau body image pada sebagian besar individu. Namun tidak semua body image yang terbentuk merupakan body image yang positif. Maka dari itu, munculah gerakan Body Positivity sebagai gambaran dari keinginan manusia untuk diakui keberadaan dirinya, seperti yang dijelaskan oleh Abraham Maslow dalam teori Self Esteem. Menurut Maslow (Alwisol, 2004), Self esteem merupakan suatu kebutuhan manusia yang memerlukan pemenuhan atau kepuasan untuk dilanjutkan ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan terhadap self esteem oleh Maslow dibagi menjadi dua jenis yaitu penghargaan diri dan penghargaan dari orang lain (Sa’diyah, 2012). Maslow (Schultz & Schultz, 1981) juga mengemukakan bahwa setiap orang mempunyai rasa untuk dicintai dan rasa untuk memiliki (sense of belonging), yang kemudian akan berkembang menjadi kebutuhan untuk mendapat penghargaan (need for esteem). Media sosial sudah menjadi platform yang berperan khusus dalam mempromosikan gerakan body positivity dan “self love”, sebagai kesempatan untuk semua orang dengan berbagai kondisi tubuh, agar dapat merasa nyaman dan percaya diri dengan tubuhnya sendiri. Yang sudah jelas, bermanfaat bagi kesehatan mental. Namun di sisi lain, perdebatan tentang gerakan ini pun terus terjadi. Contohnya, perdebatan mengenai bagaimana body positivity disebut-sebut memberi risiko yang besar terhadap orang-orang dengan kelebihan berat badan atau obesitas dan kesehatan fisik lainnya. Kasus obesitas di dunia meningkat dua kali lipat sejak tahun 1980, bahkan menduduki peringkat tiga besar penyebab gangguan kesehatan kronis (Kemenkes, 2018). Karena itulah, gerakan body positivity dipertanyakan fungsi dan tujuannya. Apakah benar-benar bermanfaat bagi kesehatan mental, atau malah hanya dijadikan tameng untuk abai merawat diri dan menormalisasi obesitas.

Body positivity merupakan bagian dari body image yang menjadi salah satu alasan terbentuknya gerakan body positivity tersebut. Body image merupakan suatu pengalaman psikologis yang fokus pada sikap dan perasaan individu terhadap tubuhnya dan body image tidak selalu sama dengan keadaan tubuh yang sebenarnya (Melliana, 2006). Akan tetapi, yang dipikirkan dan dirasakan oleh individu tentang tubuhnya belum tentu menggambarkan keadaan aktual, namun lebih merupakan penilaian diri sendiri secara subyektif (Ramanda, Akbar, & Wirasti, 2019). Saat ini body image memiliki penilaian khusus dan memiliki standar ideal tersendiri yang dibuat oleh masyarakat. Contohnya, seseorang baru bisa dikatakan cantik jika memiliki tubuh langsing, kulit putih, wajah yang mulus, serta rambut yang bagus. Ketika body image mempengaruhi individu maka akan berdampak kepada keputusannya untuk melakukan tindakan-tindakan terhadap tubuh itu sendiri. Sebagai suatu pengalaman yang subyektif, body image seseorang akan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah lingkungan individu. Dalam hal ini adalah lingkungan media sosial yang telah memberikan dampak terbesar dalam kehidupan masa kini. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak memenuhi standar tersebut? Seseorang yang tidak memenuhi standar tersebut, seringkali akan mengalami tindakan body shaming. Body shame merupakan penilaian individu akan tubuhnya yang memunculkan perasaan bahwa tubuhnya memalukan, yang disebabkan oleh penilaian dirinya dan orang lain terhadap bentuk tubuh ideal tidak sesuai dengan tubuhnya (Damanik, 2018). Hal ini memicu konflik di kalangan masyarakat, khususnya perempuan, karena adanya perbandingan antara bentuk tubuh tiap individu. Ketidaksesuaian antara bentuk tubuh yang dipersepsi oleh individu dengan bentuk tubuh yang menurutnya ideal akan memunculkan ketidakpuasan terhadap tubuhnya (Amalia, 2007). Dikarenakan maraknya perilaku body shaming dan ketidakpuasan tersebut di masyarakat, maka terbentuklah gerakan Body Positivity. Body Positivity adalah sebuah gerakan untuk menanamkan mindset atau pola pikir bahwa setiap orang layak memiliki pandangan positif terhadap tubuhnya sendiri dengan tujuan untuk menentang tipe ideal masyarakat dan

mengimplementasikan rasa penerimaan dan cinta akan seluruh bentuk tubuh. Pada dasarnya, gerakan ini merupakan bentuk usaha kita untuk mengganti pola pikir negatif tentang tubuh yang tidak memenuhi standar masyarakat, menjadi lebih positif dan lebih sehat, baik untuk fisik maupun psikologis kita. Yaitu dengan menerima dan memiliki mindset bahwa tubuh kita berharga, dengan segala bentuk dan kekurangan yang kita miliki. Sarana informasi dan pengetahuan pada masa kini sudah sangat banyak dan mudah mendapatkannya dalam bentuk platform media sosial, namun ternyata tidak semua individu mampu untuk memilah dan memilih informasi yang mereka dapatkan, bahkan seringkali mereka terbawa arus melakukan sesuatu yang tidak benar dan merugikan dirinya sendiri. Seiring berjalannya waktu, banyak orang yang menyalahgunakan istilah body positivity sebagai ajakan untuk abai merawat diri, terlebih dalam menjaga kesehatan. Padahal, gerakan tersebut sebenarnya hanya mengajak orang-orang dengan kondisi tertentu untuk merasa lebih percaya diri, nyaman serta aman dengan dirinya. Mispersepsi inilah yang membuat orang-orang atau masyarakat digiring untuk dapat menerima semua bentuk tubuh, no matter what the size and no matter what the condition is, tanpa memikirkan faktor lainnya, seperti kesehatan. Lalu apa akibatnya? Mari kita ambil kasus obesitas sebagai contoh. Sebenarnya, belum ada jurnal ataupun penelitian yang mengatakan bahwa body positivity merupakan faktor utama penyebab obesitas atau kegemukan, karena obesitas sendiri merupakan masalah medis yang terjadi tidak hanya sebatas karena pola pikir. Faktor penyebab obesitas sendiri antara lain adalah faktor genetik, hormon, serta gaya hidup yang tidak sehat. Namun, mispersepsi akan definisi body positivity menyebabkan beberapa orang menjadikan gerakan ini sebagai alasan untuk tidak peduli dengan kesehatan fisiknya, yang akhirnya membuat body positivity dianggap seakan menormalisasikan atau merayakan obesitas tanpa disadari. Padahal, seharusnya body positivity fokus pada penerimaan agar penderitanya dapat menerima dan mencintai dirinya sendiri, karena pada dasarnya sebagai manusia, saat kita peduli dan mencintai sesuatu, terlebih tubuh kita sendiri, kita akan selalu berusaha untuk menjaga dan merawatnya. Akan tetapi, jika kita hanya menerima tanpa ada usaha untuk merawat dan mengobati tubuh yang

mengalami kegemukan, akibatnya akan sangat berbahaya. Obesitas atau kegemukan dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi penyakit lain, seperti penyakit jantung, diabetes, kanker, kencing manis, darah tinggi, dan masih banyak lagi. Selain memberikan masalah pada kesehatan fisik, kegemukan juga dapat mempengaruhi kesehatan psikologis. Umumnya, orang yang menderita kegemukan akan mengalami penurunan tingkat kepercayaan diri. Disinilah peran dari body positivity yang sebenarnya, yaitu memberikan kesempatan kepada individu yang mengalami obesitas untuk tetap memiliki kepercayaan diri. Selain itu, gerakan ini juga menjadi wadah untuk men-support setiap proses yang dihadapi seorang individu untuk mencapai kondisi tubuh yang lebih baik bagi kesehatan fisik maupun mentalnya. Namun pada kenyataannya, masih banyak individu yang merasa tidak mampu untuk melakukan hal yang baik dan bermanfaat untuk tubuhnya karena merasa tidak memiliki cukup waktu atau tidak mau direpotkan oleh hal-hal yang benar dan rutin harus dilakukan. Misalnya jika ingin memiliki tubuh yang ideal, maka sudah menjadi keharusan untuk memiliki pola hidup yang sehat. Namun, untuk memiliki pola hidup sehat seringkali memakan waktu yang lama untuk mencapai keberhasilan dalam memiliki bentuk tubuh yang baik. Maka diambilah langkah-langkah instan, yang mana kemudian melakukan penyangkalan atau rasionalisasi dalam bentuk “kampanye-kampanye” terselubung yang mengatasnamakan “kebebasan individu” dalam bentuk body positivity. Rasionalisasi adalah tindakan menciptakan alasan yang baik dan masuk akal untuk membenarkan tindakannya yang salah sehingga kenyataan yang mengecewakan tidak terasa begitu menyakitkan. Rasionalisasi ditujukan agar alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk (Reandsi, Lewoleba, & Sirait, 2020). Berdasarkan pengertian rasionalisasi tersebut, penyalahgunaan gerakan body positivity dengan menggunakannya untuk membenarkan tindakan yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri juga bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan rasionalisasi. Karena kebenaran yang semu dianggap sebagai sebuah kebenaran yang hakiki. Padahal sudah kami sampaikan

juga pada tulisan diatas bahwa sebenarnya obesitas merupakan sebuah penyakit yang tidak bisa kita anggap sepele. Jadi, apakah gerakan body positivity benar-benar bermanfaat untuk kesehatan mental? Ya, tentu saja. Dengan adanya gerakan body positivity ini, mereka yang kurang memiliki rasa percaya diri akan tubuhnya yang tidak memenuhi “standar ideal” akan merasa bahwa dirinya layak untuk memiliki pandangan positif akan tubuhnya sendiri, serta mampu untuk menerima dan mencintai tubuhnya. Gerakan ini juga mengajarkan kita untuk selalu memiliki pola pikir positif akan tubuh yang kita miliki dan menjadi lebih sehat, baik untuk kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Tapi, sekadar menanamkan pola pikir positif akan tubuh kita tidaklah cukup. Kita juga tidak boleh lupa untuk menerapkan pola hidup sehat dalam rangka menjaga kesehatan fisik. Ingat, kita tidak boleh melupakan kesehatan fisik dan jangan menjadikan body positivity sebagai alasan untuk abai dalam merawat kesehatan fisik. Karena sejatinya, kesehatan mental dan fisik merupakan dua hal yang saling berikatan dan sama pentingnya untuk selalu dirawat.

Daftar Pustaka:
Jessica, Cwynar-Horta. (2016). The Commodification of the Body Positive
Movement on Instagram Stream: Culture/Politics/Technology 2016, 8(2), 36-56.
Vita, Pertiwi., Balgis., & Yusuf, Ari, Mashuri. (2020) The influence of body image
and gender in adolescent obesity Health Science Journal of Indonesia, 10, 22-435.