The Truth of Body Positivity
31 Januari 2022
KEBEBASAN MENGEKSPRESIKAN CITRA DIRI DI MEDSOS
31 Januari 2022

Body Positivity: Pisau Bermata Dua

Penulis: Sherilyn Phan & Jessica Ivana

[masterslider id=”10″]
Pendahuluan
“Setiap kebenaran memiliki dua sisi, penting untuk melihat keduanya, sebelum kita memutuskan untuk menerima salah satunya” -Aesopus

Tubuh dan penampilan sempurna telah menjadi obsesi dan mindset kebanyakan individu di dunia. Ketika berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, kita dapat melihat ratusan manekin dengan bentuk tubuh ideal di etalase toko. Dunia begitu terobsesi dengan impian tubuh yang sempurna, sehingga banyak orang lupa bagaimana cara mencintai dan menerima diri mereka apa adanya. Sebagian besar wanita, bahkan pria di seantero dunia seringkali tidak merasa percaya diri dengan bentuk tubuh yang mereka miliki. Masyarakat cenderung membandingkan bentuk tubuh milik mereka dengan milik orang lain di media sosial. Mereka pun akan melakukan berbagai cara, mulai dari mengubah pola makan hingga pola hidup, demi mencapai bentuk tubuh yang menurut mereka sempurna. Positifnya, belakangan ini di berbagai platform media sosial, marak gerakan body positivity, hingga #bodypositivity telah digunakan oleh jutaan pengguna.

Gerakan body positivity adalah gerakan sosial yang berakar pada keyakinan bahwa semua manusia harus memiliki citra tubuh positif, dan menerima tubuh mereka sendiri serta tubuh orang lain. Namun, bagi beberapa individu, gerakan kepositifan tubuh ini telah menyimpang dari pesan yang seharusnya. Banyak penderita obesitas justru beranggapan bahwa tidak mengurangi berat badan adalah bentuk dari gerakan body positivity. Padahal, membiarkan berat badan berlebih dengan alasan body positivity akan meracuni diri sendiri. Maka dari itu, gerakan ini perlu difokuskan kembali untuk mengatasi bertambahnya masalah kesehatan akibat obesitas.

Isi
Sebelum istilah body positivity mulai dikenal masyarakat pada tahun 1960- an, muncul aksi yang dikenal dengan sebutan fat acceptance. Aksi ini difokuskan untuk memusnahkan budaya fat-shaming dan diskriminasi dengan menilai bentuk tubuh. Lalu, pada tahun 1969 terbentuklah suatu asosiasi dengan nama National Association to Advance Fat Acceptance. Selanjutnya pada tahun 1996 terdapat perkembangan yang dapat dilihat dengan munculnya istilah body positivity untuk pertama kalinya yang dikenalkan oleh seorang psikoterapis kepada pasiennya yang mengalami gangguan makan. Pada tahun 2012, muncul body positivity movement yang bertujuan untuk menentang standar kecantikan yang tidak realistis. Namun, pada zaman sekarang istilah tersebut justru lebih fokus untuk menyampaikan pesan bahwa ‘All bodies are beautiful’.

Beberapa tahun terakhir, banyak merek kecantikan mulai berpartisipasi dalam gerakan body positivity. Selain itu, ‘BKLYN’, ‘Victoria’s Secret’, ‘Summersalt’, dan ‘H&M’ telah secara resmi mengumumkan bahwa perusahaan mereka akan menampilkan tubuh asli dalam iklan produk mereka dan menghentikan pengeditan bentuk tubuh. Body positivity menjadi lebih populer berkat media sosial, dengan banyak merek yang mempromosikan gerakan ini. Sebagai gerakan sosial, gerakan ini bertujuan untuk membantu orang memahami bagaimana media sosial dan pesan-pesannya mempengaruhi cara kita memandang tubuh kita.

Body positivity bertitik berat pada pentingnya menerima tubuh dan mencintai diri. Sehingga, tidak perlu mengubah diri sendiri demi mendapatkan pengakuan positif dari orang lain. Ketika seseorang merasa tidak puas terhadap penampilan fisiknya, atau kurang percaya diri, bukan tak mungkin kesehatan mentalnya akan terganggu. Berbagai gangguan psikologi dapat diterima seseorang ketika merasa tidak percaya diri, seperti depresi. Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan bersalah (Davison, 2004). Depresi ini dapat mengarah pada

timbulnya gangguan tidur (insomnia), gangguan makan, serta keinginan untuk menyakiti diri sendiri. Saat seseorang memandang rendah dirinya sendiri, ia kemungkinan akan menyakiti dirinya sendiri karena merasa pantas untuk disakiti.

Media sosial seperti Instagram dan Tik Tok, merupakan alasan yang kuat mengenai bagaimana seseorang dapat kehilangan tingkat kepercayaan dirinya. Terutama jika terus menerus menyaksikan influencer atau selebriti yang memamerkan tubuh “sempurna” mereka. Padahal di balik layar, banyak foto yang diedit agar tubuh terlihat langsing dan sempurna. Sangat disayangkan nyatanya, tampilan tidak realistis itu membawa pengaruh negatif, termasuk memicu orang melakukan operasi modifikasi tubuh atau diet ekstrem.

Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab atas hidup dan tindakannya sendiri, serta memiliki kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan tindakannya sesuai dengan nilai dan pilihannya sendiri, bukan melalui kekuatan bawah sadar. 4 dari 5 macam kebutuhan yang berhierarki pada manusia, berhubungan dengan bagaimana seseorang menilai diri mereka, meliputi kebutuhan rasa aman (the safety needs), rasa cinta dan memiliki (the love and belongingness

needs), penghargaan (the self-esteem needs), dan aktualisasi diri (the self- actualization needs) (Maslow, 1954). Rasa aman berhubungan dengan bagaimana

seseorang yang merasa terancam akan komentar buruk dari masyarakat, ketika tidak dapat memenuhi kriteria tubuh yang “sempurna”. Dan, ketika seseorang merasa tidak percaya diri akan tubuhnya, maka rasa cinta dan memiliki terhadap tubuh yang ia miliki akan memudar.

Tanpa disadari, seiring berjalannya waktu sebagian dari masyarakat justru menyalahartikan gerakan body positivity yang sesungguhnya. Gerakan yang awalnya mendorong masyarakat untuk berpikir bahwa semua bentuk tubuh adalah indah, malah menjadi tameng untuk berlindung bagi orang-orang dengan berat badan yang tidak normal dan menganggap bahwa mereka tidak perlu merubahnya. Pasalnya, gerakan body positivity ini cenderung menitikberatkan kepada penampilan fisik, tetapi kurang memperhatikan hal yang paling utama, yaitu

kesehatan. Kasus obesitas merupakan salah satu contoh sisi buruk dibalik body positivity. Obesitas adalah kondisi yang ditandai gangguan keseimbangan energi tubuh yaitu terjadi keseimbangan energi positif yang akhirnya disimpan dalam bentuk lemak di jaringan tubuh (Nelm, et, al 2011). Untuk mengetahui apakah seseorang tergolong obesitas atau tidak, dapat dilihat dari BMI orang tersebut. Indeks massa tubuh (BMI) lebih dari 25 dianggap kelebihan berat badan, dan lebih dari 30 adalah obesitas. Cara menghitung BMI adalah dengan membagi berat badan (dalam kilogram), dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2).

Pada tahun 2018, berlangsung survei kesehatan nasional di Inggris yang berfokus pada peserta dengan indeks massa tubuh di atas 25, dan bagaimana mereka berpikir tentang tubuh mereka. Hasil penelitian tersebut cukup mengejutkan, kebanyakan peserta survei berpendapat bahwa berat badan mereka “cukup ideal” atau “terlalu ringan.” Penulis survei menyimpulkan bahwa penyebab orang-orang berpikir demikian dipicu oleh kampanye body positivity. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kelebihan berat badan dan obesitas adalah hal yang normal, bukan masalah yang serius. Meskipun penelitian ini sebenarnya tidak mengeksplorasi body positivity sebagai salah satu faktor, para peneliti berpikir mungkin body positivity berhubungan dengan hasil riset mereka (Health News Review, 2018).

Pada wawancara via WhatsApp kepada Ketut Valentina Putri, seorang pelajar berusia 16 tahun dengan tinggi badan 165 cm dan berat badan 82 kg, ia mengatakan, “Berdasarkan pengalaman saya, saya menjadi mencintai bentuk tubuh saya sendiri, sehingga saya tidak akan mengurangi berat badan saya meskipun mengalami masalah kesehatan dan perubahan kesehatan” (14 Januari 2022). Dari pernyataan narasumber, dapat dilihat bahwa dampak buruk dari body positivity bukan masalah sepele yang dapat diabaikan. Dampak yang dapat terjadi akibat obesitas adalah gangguan pernafasan seperti asma, nafas pendek, mengorok saat tidur dan tidur apnea karena penimbunan lemak yang berlebihan di bawah diafragma dalam dinding dada yang menekan paru-paru (Damayanti, 2008). Selain itu, obesitas juga dapat menyebabkan tekanan darah tinggi mengalami peningkatan.

Jika tidak terkontrol, hipertensi dapat menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakit jantung koroner dan stroke, gagal ginjal, penyakit vaskular perifer, dan kerusakan pembuluh darah retina (Kemenkes, 2018).

Tidak menutup kemungkinan bahwa apabila gerakan body positivity yang disalahartikan ini terus berjalan, maka dapat mengarah ke toxic positivity. Alasan ‘fat is acceptance’ rasanya kurang tepat digunakan untuk meninggalkan gaya hidup sehat, dan meneruskan gaya hidup yang tidak sehat. Pernyataan itu seakan-akan menjadi alasan bagi orang-orang agar dapat mengonsumsi makanan tidak sehat dalam porsi besar. Setiap individu tentunya memiliki tanggung jawab sepenuhnya untuk semua aspek pada tubuh masing-masing. Keberlangsungan hidup memang harus dinikmati, tetapi obesitas merupakan bentuk bunuh diri yang harus segera ditangani.

Cara yang paling ampuh untuk mencegah adanya kemungkinan body positivity berubah menjadi toxic positivity adalah dengan mencari cara untuk bisa menumbuhkan mindset self-love dan self acceptance secara tidak berlebihan. Memenuhi setiap kebutuhan dan melakukan perubahan secara bertahap merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk memulai mencintai diri sendiri demi kebaikan tubuh. Cukup dengan mencintai diri sendiri dengan menjalani hidup yang wajar dan sehat, maka dengan sendirinya orang akan lebih menerima dan menghargai dirinya sendiri. Jika kita mencintai diri sendiri sepenuhnya, obesitas atau kekurangan berat badan tidak akan terjadi.

Diet sehat dapat dilakukan untuk mengubah gaya hidup sambil mengembangkan rasa cinta terhadap diri sendiri. Ahli gizi Mochammad Rizal berkata, “Diet yang tepat harus memperhatikan prinsip gizi seimbang.” Kebutuhan nutrisi harus terpenuhi agar tubuh tetap sehat. Dengan mengkonsumsi lebih banyak makanan ber densitas energi rendah, yaitu buah dan sayur, kualitas diet akan lebih baik dan IMT akan lebih normal daripada mengkonsumsi makanan ber densitas energi tinggi, yaitu sumber lemak (Dewi dan Dieny, 2012). Selain dengan cara

mengontrol pemenuhan zat gizi yang seimbang, kesuksesan menurunkan berat badan juga dapat ditunjang dengan melakukan berbagai aktivitas fisik.

Penutup
Setiap individu adalah unik karena ciri fisik mereka sendiri. Manusia diciptakan dengan cara yang berbeda antara satu dengan yang lainnya dan manusia memiliki keindahannya masing-masing. Sebenarnya, keberadaan gerakan body positivity, mendukung pernyataan tersebut. Mencintai diri apa adanya, tanpa mempedulikan perspektif orang lain. Namun, sangat disayangkan sebagian dari masyarakat kurang paham arti sesungguhnya dari body positivity. Perlahan-lahan, gerakan positif ini malah menjadi toxic yang membahayakan nyawa. Mencintai diri sendiri sebenarnya sudah cukup untuk memberikan yang terbaik bagi tubuh kita. Berusaha untuk hidup dengan bahagia dan sejahtera tanpa masalah kesehatan. Bersikap positif terhadap tubuh yang kita miliki akan memberikan efek baik bagi diri kita sendiri, khususnya dalam jangka panjang. Maka, penting untuk menanamkan konsep body positivity secukupnya saja, tanpa melewati batas.

Daftar Pustaka
Damayanti, A.D. (2008). Cara pintar mengatasi kegemukan anak. Jakarta:
Curvaksara.
Davison, G. C., John, M. N. & Ann, M. Kring. (2006). Psikologi abnormal. (9th
edition).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Dewi, U. P. & Dieny, F. F. (2012) Hubungan antara densitas energi dan kualitas
diet dengan
indeks massa tubuh (IMT) pada remaja. Journal Of Nutrition College, 1, pp.
127–133.
Dila, F. P. & Ali R. (2018). Faktor risiko kejadian obesitas pada siswa sma negeri
I
Jatiwangi kabupaten Majalengka. Program Sarjana/Sarjana Terapan (S1/D4)
Universitas Muhammadiyah, Semarang.
Jill, U. A. (2018, Juni 27). News stories parrot assumptions about ‘body positivity’
health
risks – and ignore conflicting evidence. Health News Review. Diunduh di

https://www.healthnewsreview.org/2018/06/news-stories-parrot-assumptions-
about-body-positivity-health-risks-and-ignore-conflicting-evidence/, tanggal

10 Januari 2022.
Kenny, R. (2018, September 11). Awas! 5 gangguan kesehatan ini terjadi akibat
tidak percaya

diri. Diunduh di https://www.idntimes.com/health/fitness/kenny-
riana/gangguan-kesehatan-saat-tak-percaya-diri-c1c2/1, tanggal 9 Januari

2022.
Abraham., H. M. (1954). Motivation and personality. Harper & Brothers.
Nelm. M,. Kathryn S., Keren L., & Sara Long R. (2011). Nutrition therapy and
pathophysiology. (3rd Edition). USA Wadsworth.
Powers, S. I., Hauser, S. T., & Kilner, L. A. (1989). Adolescent mental health.
American
Psychologist.

P2PTM Kemenkes RI. (2019, Februari 20). Hipertensi berbahaya karena
menyebabkan
beberapa komplikasi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diunduh di

http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic/hipertensi-berbahaya-karena-
menyebabkan-beberapa-komplikasi, tanggal 11 Januari 2022.

Ruvira Arindita. (2020). #BodyProudMums: promoting body positivity through
brand
storytelling on social media. Universitas Al Azhar Indonesia.
World Health Organization. (2022). Body mass index – BMI. World Health
Organization

Regional Of Europe. Diunduh di https://www.euro.who.int/en/health-
topics/disease-prevention/nutrition/a-healthy-lifestyle/body-mass-index-
bmi#:~:text=It%20is%20defined%20as%20a,have%20a%20BMI%20of%202

2.9., tanggal 9 Januari 2022.