Penulis : ANINDITA TAFAKURI & LOUISE GRACIA WIBISONO
[masterslider id=”12″]
Sering kita jumpai di media sosial ada saja postingan seseorang yang kadang kala membuat kita merasa rendah diri. Namun tanpa disadari kita sendiri yang memakai patokan standar kecantikan agar di anggap elok oleh banyak orang, seperti kulit putih, bersih, hidung mancung, postur tubuh tinggi dan langsing, maupun standar kecantikan yang tidak masuk akal lainnya. Di tambah lagi maraknya beauty influencers, selebgram, brand ambassador di media sosial yang sering memamerkan standar kecantikan tersebut alhasil tertanam pola pikir masyarakat bahwa cantik mempunyai standar tersendiri. Apalagi dengan maraknya standar kecantikan timbul konflik baru yaitu body shaming yang cenderung membuat korban makin merasa terpuruk atas tubuhnya sendiri. Body shaming atau mempermalukan bentuk fisik orang secara verbal maupun non verbal, baik dalam konteks bercanda maupun serius,sehingga korban bullying merasa semakin tidak aman, tidak nyaman terhadap penampilan fisiknya, dan mulai menutup diri dari lingkungan sekitarnya. Disampaikan psikolog anak dan remaja dari EduPsycho Research Institute, Yasinta Indrianti M. Psi, fase remaja memang sangat rentan bagi anak untuk menjadi korban bullying atau bahkan pelaku. Menurutnya fase remaja merupakan masa pencarian jati diri yang terkadang hal ini tidak disikapi secara positif sehingga menyebabkan anak menjadi korban atau pelaku bullying. Selain itu dengan adanya tekanan dari masyarakat, orang yang terpacu dengan standar kecantikan akan mengusahakan semaksimal mungkin untuk mencapai standar tersebut, bisa dengan diet ketat, operasi plastik,sedot lemak,suntik putih, dan kegiatan ekstrem lainnya. Dengan adanya pola pikir negatif yang sudah tertanam di benak masyarakat, maka gerakan body positivity saat ini harus ramai digencarkan. Body positivity sendiri adalah gerakan yang menentang standar kecantikan yang tidak realistis, gerakan ini mempromosikan agar khalayak umum menerima beragam ukuran, bentuk, warna tubuh, juga mencakup semua keadaan fisik baik bagi dirinya sendiri dan orang lain. Awal mula gerakan body positivity muncul pada 1850-an sampai 1890-an yang gencar disebut dengan Victorian Dress Reform Movement atau Rational Dress Movement sejak zaman Victoria. Gerakan ini menciptakan inovasi pakaian yang lebih praktis dan nyaman di latar belakangi oleh populernya standar kecantikan bahwa cantik harus memiliki pinggang kecil sehingga mengharuskan wanita di zaman itu memakai korset dan tali pengencang agar tubuhnya nampak ideal. Di era masa kini gerakan body
positivity juga ramai digencarkan oleh para influencer di media sosial. Hal ini mendapat respon pro- kontra di kalangan masyarakat.
Masih ada saja anggapan yang salah mengenai gerakan body positivity seperti anggapan bahwa gerakan ini hanya ditujukan kepada orang bertubuh gemuk, dianggap mendukung pola hidup tidak sehat diatasnamakan penerimaan diri, dan menyalahkan standar kecantikan orang lain. Di satu sisi masih ada saja orang yang menggunakan body positivity untuk menghalalkan obesitas, karena gerakan ini mendorong orang yang bertubuh gemuk harus memiliki penilaian positif terhadap tubuhnya, sehingga hal itu dianggap wajar tanpa harus memperbaiki pola hidupnya. Padahal body positivity tujuannya agar diri kita dan orang lain menerima citra tubuh apa adanya tanpa mematok standar kecantikan tertentu. Gerakan ini justru mengarahkan kita untuk menerima diri, merawat diri, serta meluruskan pandangan diri sendiri dan orang orang agar tidak
mendiskriminasi kondisi fisik tertentu, maka diharapkan dapat meminimalisir pola pikir negatif di kalangan masyarakat. Sehingga kita dapat menjalani hidup dengan aman dan nyaman tanpa perlu khawatir gunjingan orang lain, alangkah menyenangkan apabila dunia ini dipenuhi orang orang yang bisa saling menghargai satu sama lain, mampu menciptakan lingkungan yang suportif contohnya apabila kita tahu bahwa ada teman yang mengalami obesitas sebaiknya dinasehati dengan cara yang baik tanpa menyinggung perasaannya, langkah selanjutnya adalah menyarankan dia untuk menerapkan pola hidup sehat seperti mengurangi makanan berlemak, mengganti camilan yang tidak sehat dengan buah-buahan, dan rutin olah raga. Kuatkan keadaan mentalnya dengan cara meyakinkan
bahwa tubuh gemuk bukanlah aib yang pantas dicemooh masyarakat, bukan juga diterima mentah- mentah dilandaskan mencintai diri sendiri yang nyatanya hanya sebagai dalih rasa egois ingin selalu
dimengerti alhasil tidak mau membenahi diri. Sekali lagi kami tekankan bahwa body positivity bukan untuk mengkampanyekan obesitas karena gerakan body positivity bukan hanya ditujukan untuk orang yang bertubuh gemuk, namun semua kondisi fisik yang biasa terkena body shaming seperti bekas luka, jerawat, guratan peregangan (stretch mark), dan kondisi fisik yang dianggap memiliki citra buruk lainnya. Gerakan ini difokuskan untuk saling menghargai fisik seseorang tanpa memandang standar kecantikan. Memiliki tubuh yang terjaga dari segi kesehatan dan kebersihan memberikan dampak positif untuk diri sendiri dan berlaku juga untuk orang lain. Menerima diri menurut kami adalah ketika kita mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan, menjaganya dengan baik sehingga kita sehat secara psikis maupun fisik. Dalam proses glow up wajar jika mengalami jatuh bangun bisa tiba-tiba merasa stres karena kurang percaya diri dengan keadaan fisiknya, bosan dalam berproses karena kami sendiri pernah mengalami hal seperti ini. Mengacu pada pengalaman pribadi, dalam sebulan jatah olah raga setiap hari pagi dan sore rasa bosan tiba-tiba muncul menyebabkan kurang termotivasi dalam berolah raga seolah merasa tidak ada perubahan sama sekali pada tubuh setelah satu minggu penuh berolah raga, rasa tidak sabaran yang berlebih ini biasanya yang membuat stres hingga malas olah raga. Motivasi kami agar bisa rutin olah raga berawal dari rasa tidak nyaman dengan kondisi fisik seperti lipatan lemak di perut yang sangat mengganjal ketika duduk dan menyebabkan pakaian banyak yang tidak muat, selain itu membandingkan diri kami dengan orang yang fisiknya lebih bagus, dan ingin menunjukkan bahwa fisik kami bisa dirubah menjadi lebih baik kepada orang orang yang pernah melakukan body shaming terhadap kami. Karena kami sendiri pernah mengalami kasus body shaming dengan alasan “cuman bercanda kok”. Seperti “pandemi bikin melebar ya kamu”, “jerawatmu makin banyak tuh, mikirin cowo terus ya”, dan banyak lagi hujatan yang dilontarkan. Tentu saja hal tersebut membuat kami merasa sakit hati, sayangnya hal ini dinormalisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Mengacu pada pengalaman pribadi, walaupun kami sudah berusaha menegur masih ada saja yang membela diri merasa tidak bersalah walaupun baru saja mengatai tubuh orang. Para pelaku body shaming yang pernah kami temui biasanya balik menyalahkan bahwa kami mudah tersinggung atau sering disebut baperan. Padahalsudah jelas mereka yang salah, tetapi korban body shaminglah yang dipojokkan. Salah satu cara agar kami bisa menghadapi pelaku body shaming adalah dengan bersikap tidak acuh dengan cemoohan dari pelaku body shaming, tetap fokus berubah menjadi pribadi yang lebih baik, dan selalu ingat dengan tujuan body positivity, menerima diri dengan apa adanya “no matter what they say”. Dengan kembalinya motivasi, artinya kita sudah mampu membenahi pola pikir dan bisa melanjutkan kebiasaan hidup sehat. Membahas mengenai kesehatan mental ternyata pengaruh media sosial sangat besar bagi setiap penggunanya. Antara lain dampak negatifnya adalah depresi, gangguan tidur, gangguan body image, cyber bullying, rasa khawatir yang berlebihan (ansietas),
bahkan bunuh diri. Selain itu banyak dampak positif yang dapat diambil antara lain untuk media promosi, salah satu pusat hiburan serta informasi, meningkatkan prestasi, dan media untuk menyuarakan gerakan positif seperti body positivity. Bukan hanya para influencer saja yang dapat menyuarakan gerakan body positivity, sebagai orang biasa pun kita semua dapat menyuarakan gerakan tersebut dengan hal paling sederhana seperti tidak perlu mengunggah foto dengan efek berlebihan, tidak mengatai fisik orang sembarangan, memakai pakaian yang nyaman dan sesuai dengan bentuk tubuh kita. Pada era modern kini didukung perkembangan teknologi dan media komunikasi seperti internet memunculkan berbagai tren yang berkembang pesat di masyarakat. Terutama tren seputar gaya hidup di kalangan remaja diantaranya mengenai kecantikan, perawatan tubuh, maupun kesehatan. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang mendorong para remaja demi tidak ketinggalan tren. Terkait soal tubuh, gaya hidup menjelma menjadisuatu komoditas oleh mereka yang menganggap bahwa konsep perawatan tubuh sebagai suatu kesadaran (Ibrahim dan Suranto, 1998 : 374). Dengan populernya tren perawatan tubuh oleh influencer menjadi salah satu daya tarik bagi para pengikutnya, selain teredukasi kita juga dapat menerapkan cara perawatan tubuh dengan baik. Influencer yang biasa kami ikuti adalah Mary Angline, Jemima Livia, dr. Richard Lee,MARS, dan livjunkie. Ditambah lagi pengaruh positif influencer yang mengajak untuk menjalani pola hidup sehat seperti akun instagram @bobbyida dan @clahayes. Kembali lagi ke gerakan body positivity di media sosial, dengan merambahnya pengaruh tren perawatan tubuh di khalayak umum, sehingga dapat mengedukasi dan diterapkan banyak orang. Hal ini berdampak bagi kesehatan dirisendiri, bahkan kita dapat menyarankan orang terdekat tentang pola hidup sehat. Adapun dampak negatif dari tren seperti gosip, kini dengan kebebasan bersuara netizen berkomentar sesuka hati. Itu tandanya netizen kurang teredukasi dalam bermedia sosial alhasil muncul penyebab konflik baru seperti caci makian di media sosial, merambah ke pencemaran nama baik, cyber bullying yang biasanya diawali dengan komentar negatif seperti body shaming. Dari sini kita tahu bahwa tren di media sosial dapat membawa pengaruh negatif dan positif tergantung pada penggunanya. Semoga kita dapat memilah dengan bijak tren apa yang selayaknya kita ikuti. Bagi kami media sosial merupakan wadah untuk mengekspresikan citra diri di khalayak umum. Memang untuk mengekspresikan diri itu bebas asalkan dapat memilah apa yang layak di unggah, jangan sampai merugikan diri sendiri dan orang lain. Boleh saja apabila kita mengikuti tren positif seperti tren outfit, sah-sah saja memakai outfit kegemaran kita tanpa memedulikan standar kecantikan. Jadilah percaya diri untuk tampil apa adanya, jadilah bebas untuk mengunggah citra diri di media sosial asalkan tidak berlebihan.
Daftar Pustaka
Aulia Firafiroh. (Selasa, 13 Juli 2021). 3 Anggapan Salah Kaprah Soal Body Positivity yang Beredar
Luas. Di akses dari https://www.parap uan.co/amp/53278 5471/3-anggapan salah-kaprah-soal body-
positivity yang-beredarluas?page=all, tanggal 15 Desember 2021.
Avissa Harness. (13 Februari 2021). Apa itu body positivity? KumparanWOMEN. Diakses dari
https://mkumparan.com.cdn.ampproje ct.org/v/s/m.kump aran.com/amp/ku mparanwoman/apa –
itu-bodypositivity1vAU3NtzLfE?am p_js_v=a6&_ gsa=1&usqp=mq3 31AQKKAFQAr
ABIIACAw%3D %3D#aoh=164224 02050847&csi=1 &referrer=https% 3A%2F%2Fwww.
google.com&_tf=From%20%25 1%24s&share =https%3A%2F%
2Fkumparan.com%2Fkumparanwo man%2Fapa-itu body-positivity 1vAU3NtzLfE, tanggal 15 Januari
2022.
Céline Leboeuf. (2019, Fall). What is body positivity? The path from shame to pride. jstor.org, pp.
113- 128 (16 pages). Di akses dari https://www.jstor.org/stable/269481 09, tanggal 15 Januari 2022.
Milatishofa, Kusrin, dan Weni Adityasning Arindawati. (Juli,2021). Analisis Resepsi Khalayak
Terhadap Makna Body Positivity Pada Instagram Tara Basro. Linimasa: Jurnal Ilmu Komunikasi, 4 (2),
2614-0381. Di akses dari https://scholar.google.com/scholar?hl =en&as_sdt=0%2 C5&q=body+posit
ivity+1850&oq=#: ~:text=M%20Mila tishofa%2C%20K %20Kusrin%E2% 80%A6%C2%A0
%2D%20LINIMA SA%3A%20JUR NAL%20ILMU%C2%A0%E2%80 %A6%2C%20202 1%20%2D%20jou
rnal.unpas.ac.id, tanggal 14 Desember 2021.
Tri Fajariani Fauzia dan Lintang Ratri Rahmiaji. (2019). Memahami Pengalaman Body Shaming Pada
Remaja Perempuan. Ejournal Universitas Diponegoro. Di akses dari https://ejournal3.u
ndip.ac.id/index.p hp/interaksi online/article/view /24148/21901, tanggal 16 Desember 2021