Penulis : MuhammadRazzanRezqyPratama&AuraRahmalyahHarun
[masterslider id=”13″]
Belakangan ini orang-orang terus berupaya untuk mengikuti standar kecantikan, baik standar menurut penduduk lokal maupun masyarakat dunia secara luas. Dari standar kecantikan tersebut.banyak orang yang mengalami depresi akibat body image yang negatif. Hal tersebut berujung pada tingginya kasus bunuh diri pada lingkungan masyarakat, utamanya di era sosial media seperti saat ini. Dimana setiap kali kita membuka sosial media, kita selalu disuguhkan dengan penampilan orang lain yang kerap kali membuat kita mempertanyakan rasa kepercayaan diri kita terhadap penampilan kita.
Karena itu pula, semakin hari, semakin tak realistis pula standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat. Thompson (2000 : 32) menjelaskan pentingnya faktor media massa dalam membentuk nilai-nilai yang dianut masyarakat. Melalui media massa, tubuh yang ideal terbentuk di masyarakat. Di Indonesia sendiri dapat dilihat bahwa peran media massa mulai mempunyai pengaruh dalam membentuk pikiran tentang penampilan dan body image, pada iklan-iklan kosmetik sering digunakan model wanita dengan kulit yang putih, tubuh yang langsing, secara tidak sadar masyrakat menganggap tubuh ideal seorang wanita adalah yang memiliki kulit putih dan bertubuh langsing.
Situs berita daring kumparan.com mengutip data dari BPS, pada tahun 2016 di Indonesia, bunuh diri yang tercatat di kepolisian sejak tahun 2010
sampai 2012 mengalami kenaikan. Ditemukan 634 kasus di tahun 2010, meningkat menjadi 970 kasus di tahun 2011, lalu 979 di tahun 2012. Mulai tahun 2012 sampai 2015 jumlah kasus mengalami penurunan. Ada 921 kasus di tahun 2013, turun menjadi 842 kasus di tahun 2014, dan menurun menjadi 812 kasus di tahun 2015. Data tersebut adalah fakta yang tercatat di kepolisian, realita di lapangan yang tidak tercatat bisa lebih banyak.
Menurut situs penyedia data, yaitu Databoks (databoks.katadata.co.id) berdasarkan data BPS pada tahun 2015, jumlah kasus bunuh diri tertinggi di Indonesia tercatat di wilayah Jawa Tengah dengan 331 kasus.
Sebenarnya, keinginan bunuh diri bisa dicegah untuk berkembang menjadi tindakan bunuh diri.
Mengutip pernyataan dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ di akun youtube pribadinya, ada bantuan terdekat yang bisa dilakukan oleh orang lain di sekitar penderita, yaitu berupa menunjukkan sikap penerimaan, mau mendengarkan, serta tidak serta merta menghakimi seseorang.
Body image adalah konstruksi multidimensi dengan fitur positif dan negatif. Namun, teori, penelitian, dan praktik telah berfokus pada pemahaman, pencegahan, dan pemanasan fitur-fitur negatifnya. Dalam edisi pertama buku pegangan ini, Cash dan Pruzinsky mengenali pendekatan yang tidak seimbang ini, dan menyebutnya “didorong oleh patologi”. Mereka menyerukan perubahan paradigma untuk memeriksa pengalaman body image positif dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong dan muncul darinya.
Sepuluh tahun kemudian, ada beberapa penelitian yang diterbitkan tentang body image yang positif. Bab ini menyatukan temuan-temuan ini dan membahas bagaimana citra tubuh yang positif dapat dinilai dan dipromosika semuanya , dengan harapan dapat mendorong penelitian tambahan di bidang ini.
Penelitian ini sangat penting, karena memahami body image yang positif
sangat penting untuk upaya pencegahan dan pengobatan. Tanpa pengetahuan ini, intervensi saat ini yang dirancang untuk mengurangi citra tubuh negatif dapat menghasilkan citra tubuh yang netral. Praktisi perlu melakukan perawatan lebih jauh untuk membantu orang menghargai, menghormati, merayakan, dan menghormati tubuh mereka. Tylka, TL (2011).
Body image adalah cara bagaimana kita memandang tubuh kita. Pasalnya, orang-orang terlalu berkiblat pada standar kecantikan yang dibuat oleh masyarakat, akibatnya manakala seseorang dianggap tidak memenuhi standar tersebut, maka ia akan dikucilkan atau bahkan dirundung oleh lingkungan yang toksik. Hal tersebut bisa saja berakibat terbentuknya body image yang negatif bagi seorang individu yang bisa berujung pada bunuh diri, dilihat dari data-data yang disebutkan tadi maupun fenomena di era ini.
Lantas, bagaimana solusi dari fenomena semacam ini ? Yakni dengan membentuk body image yang positif terhadap diri sendiri. Dari hal tersebut, akan terlahir sesuatu yang disebut body positivity. Body positivity merupakan gerakan untuk mencintai dan menerima diri sendiri yang ditujukan untuk menantang tipe ideal masyarakat (misalnya standar kecantikan dan lain sebagainya) untuk berusaha mengimplementasikan rasa penerimaan pada seluruh jenis tubuh dan menyoroti kegunaan dan kesehatan tubuh itu melainkan hanya berfokus pada apa yang nampak secara fisik.
Gerakan body positivity memiliki level yang cukup urgen tuntuk diterapkan dalam keseharian kita. Selain untuk kesehatan secara fisik maupun psikis dari seorang individu, hal tersebut juga dapat melahirkan lingkungan baru yang positif, dimana penampilan fisik tidak lagi dijadikan sebagai sesuatu yang harus dibesar-besarkan.
Gerakan body positivity sudah tidak asing lagi di era sekarang. Gerakan ini mulai digalakkan oleh para generasi muda. Mereka telah menyadari betapa pentingnya body positivity bagi kesehatan fisik dan mental, serta sebagai media untuk lebih mencintai diri sendiri.
Sayangnya, terkadang masih ada saja miskonsepsi terkait body positivity. Banyak yang beranggapan bahwa body positivity hanya berlaku bagi mereka yang memiliki tubuh plus size dan hanya berlaku bagi kaum perempuan yang identik dengan rasa kurang percaya diri akan bentuk tubuh mereka. Tak hanya itu, body positivity juga kerap kali dianggap mengampanyekan kebiasaan hidup yang tidak sehat, yakni membiarkan orang yang bertubuh gemuk menjadi malas berolahraga dan menciptakan kebiasaan yang tidak sehat. Pandangan tersebut muncul karena body positivity merupakan suatu paham yang menerima citra tubuh apa adanya tanpa memperdulikan standar kecantikan masyarakat. Padahal sebenarnya body positivity bertujuan untuk meningkatkan rasa cinta terhadap diri sendiri, memperbaiki kesehatan mental, dan kesehatan fisik.
Ditulisnya esai ini bertujuan untuk mendukung gerakan body positivity dan menyadari peranannya terhadap selflove, kesehatan fisik dan mental, serta mematahkan miskonsepsi terkait body positivity, dengan begitu bisa memberi impact yang baik bagi individu hingga seluruh lapisan masyarakat.
Cash (2002) mengemukakan ada lima dimensi dalam pengukuran body image, yaitu :
1) Appearance evaluation (evaluasi penampilan) Evaluasi penampilan yaitu penilaian penampilan secara keseluruhan tubuh.
2) Appearance orientation (orientasi penampilan)
Orientasi penampilan yaitu pandangan yang mendasar tentang
penampilan diri.
3) Body area satisfaction (kepuasan terhadap bagian tubuh)
Kepuasaan terhadap bagian tubuh, yaitu mengukur kepuasaan
individu terhadap bagian tubuh secara spesifik secara keseluruhan dari atas
sampai bawah.
4) Overweight preoccupation (kecemasan menjadi gemuk) Kecemasan menjadi gemuk yaitu kewaspadaan individu terhadap bertambahnya berat badan, dan akan membatasi pola makan.
5) Self-classified weight (Pengkategorian ukuran tubuh)
Pengkategorian ukuran tubuh, yaitu pengklasifikasikan golongan tubuh, dari kurus sampai gemuk.
Faktor-faktor yang mempengaruhi body image seseorang adalah faktor internal meliputi jenis kelamin, persepsi, sedangkan faktor eksternal meliputi media massa, hubungan interpersonal, sosiokultural.
Teori sosiokultural
Walaupun ada beberapa model teori yang telah dikemukakan untuk menjelaskan masalah bodyimage, banyak penelitian yang berpendapat bahwa faktor masyarakat dan budaya memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk, mengembangkan, dan mempertahankan masalah body image pada masyarakat barat. Teori ini dikenal dengan teori sosiokultural, yang menyebutkan bahwa masyarakatlah yang menentukan standar sosial mengenai apa yang cantik dan menarik (Heinberg dalam Thompson, 2000: 32). Thompson juga berpendapat bahwa norma budaya memiliki peranan
dalam mempengaruhi pengembangan dengan body image tingkah laku dan sikap yang berhubungan. Di dalam masyarakat yang dimana “yang indah adalah yang baik”, kurus merupakan sinonim dengan kecantikan. penelitian menemukan bahwa meskipun kurus merupakan hal yang sangat dihargai di masyarakat, lawannya yaitu obesitas merupakan hal yang paling dihindari(Thomson, 2000: 33). Teori sosiokultural juga menekankan pentingya peran media dalam menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan harapan tentang fisik idealnya. Tubuh ideal yang kurus tidak dipromosikan secara langsung oleh media, akan tetapi popularitas televisi, film dan majalah merupakan sarana dimana media menjadi salah satu alat yang memberikan pengaruh yang sangat kuat untuk mengkomunikasikan tubuh kurus (Thompson, 2000: 37). Media massa memiliki peran yang kuat mengenai ukuran standar ideal kecantikan dan secara spesifik, media berperan dalam mengkomunikasikan harapan ini pada masyarakat (Thompson, 2000: 37).
Body image yang positif akan menciptakan body positivity. Body positivity akan menumbuhkan rasa mencintai diri sendiri, melanggengkan budaya hidup sehat, serta menciptakan lingkungan dan kehidupan yang lebih positif, baik untuk diri sendiri maupun untuk sesama.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian teori serta poin-poin diatas, dapat disimpulkan bahwa baik faktor internal maupun faktor eksternal dari body image yang negatif memiliki dampak yang sangat berpengaruh terhadap rusaknya kondisi mental dan kesehatan seseorang, sehingga dari kerusakan mental tersebut seseorang dapat mengalami masalah psikis seperti depresi yang dapat berujung pada bunuh diri dan semakin merebaknya lingkungan masyarakat yang toksik.
Adapun miskonsepsi terhadap body positivity yang juga dapat berimbas
pada kesehatan secara fisik, dimana hal tersebut benar-benar dapat mempromosikan gaya hidup yang tidak lagi sehat, dimana orang-orang akan meromantisasikan obesitas sebagai bentuk penerimaan terhadap tubuh yang kerap dikaitkan dengan selflove yang merupakan bagian dari bodypositivity. Padahal hal tersebut merupakan lawan dari body positivity. Romantisasi pada obesitas dan budaya hidup tidak sehat lainnya malah akan mendatangkan masalah-masalah kesehatan fisik, seperti penyakit jantung dan lain sebagainya.
Faktor internal, yakni segala sesuatu yang bersifat individual, seperti perasaan, kesadaran, maupun keinginan seseorang terhadap tubuhnya. Tubuh dan penampilan kita secara fisik merupakan anugrah dari tuhan yang berada diluar kendali kita, serta merupakan sesuatu yang patutnya kita jaga dan syukuri. Jadi, kita sendirilah yang menciptakan body positivity itu dari dalam diri kita masing-masing.
Hal tersebut, dapat diminalisir dengan mempromosikan pemikiran body positivity kepada khalayak luas. Selain menyuarakan pentingnya selflove, hal ini juga dapat menciptakan lingkungan masyarakat yang lebih positif, dimana tidak terdapat standar kecantikan “mutlak” yang memaksa semua orang untuk mengikutinya.
DAFTAR PUSTAKA
Firafiroh, A. (2021, Juni 25). Alasan Mengapa Body Positivity dan Self Love Penting Dilakukan. Kompas.com
Firafiroh, A. (2021, Juli 13). 3 Miskonsepsi Salah Mengenai Body Positivity yang Sering Terjadi. Kompas.com
deVos, K. (2018, Mei 29). The Problem With Body Positivity, New York Times
etheses.uin-malang.ac.id/1531/6/08410026_Bab_2.pdf
Jurnal Citrakara, Vol. 2 No. 3, 231 – 244