Body Positivity dan Glorifikasi Obesitas
31 Januari 2022
The Truth of Body Positivity
31 Januari 2022

Gerakan Body Positivity itu Mengubah Isi Hati atau Isi Piring?

Penulis : Anak Agung Istri Kiara Putri & Ni Luh Putu Litiya Clarisa Maharani


Pernah gak sih berat badanmu dijadikan candaan oleh teman-temanmu? di bully karena tubuh ‘berisi’? atau bahkan sampai dikucilkan? ternyata ini nggak terjadi baru-baru saja lho, namun sudah jadi penyakit sosial dari dulu. Sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Cahnman pada tahun 1968 berjudul “The Stigma of Obesity”(Stigma Obesitas) menyebutkan bahwa seseorang yang dilabelkan gemuk dianggap sebagai ‘aib sosial’ oleh masyarakat. (Phul dan Heur, diakses 9 Januari 2022)

Pandangan gemuk adalah ‘aib sosial’, ditentang keras oleh sebuah organisasi asal Amerika Serikat yaitu NAAFA (National Association to Advance Fat Acceptance) yang salah satu tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk menghapus hak istimewa badan ‘kurus’ dan mempromosikan gerakan menentang diet. Organisasi ini memberikan ruang untuk menyuarakan ketimpangan sosial terkait dengan obesitas, dimana salah satu usahanya adalah memublikasikan buku berjudul, “Fat Power: Whatever You Weigh is Right” (Kekuatan Lemak: Berapapun Berat Mu itu Benar) yang memberikan pola pikir baru kepada pembaca untuk tidak menyalahkan berat badan.

Namun sulit untuk melakukan hal tersebut di era serba online seperti sekarang, karena bentuk fisik telah menjadi salah satu alasan utama pembulian yang dilakukan secara verbal di media sosial. Perlu diingat cyber bullying tidak memiliki batas tempat, waktu maupun privasi. Para netizen dengan brutal berkomentar di media sosial mengenai bentuk tubuh yang tidak ideal menurut standar masyarakat, yang berdampak gangguan mental pada korban seperti memicu depresi. Kasus bullying di media sosial ini akhirnya mendorong para korban untuk bersuara melalui gerakan sosial online, body positivity terutama di kalangan para wanita. Gerakan body positivity ini mengajak masyarakat untuk

bisa menerima dan mencintai apapun kondisi tubuh, baik dari segi ukuran, berat, warna kulit maupun bentuk tubuh.

Di tahun 2022, postingan Instagram dengan #bodypositive mencapai 17,508,736 postingan. Postingan-postingan tersebut cukup mampu mengubah perspektif wanita bahwa wanita bisa lebih cantik dengan lemak tambahan dan berhak bahagia walaupun memiliki tubuh yang kurang ideal. Salah satu artis terkenal dari Amerika Serikat yang mendukung gerakan ini adalah Lizzo yang mengunggah video dance di akun instagram pribadi pada tanggal 3 Januari 2022 dengan caption “I gained weight, I look T* GOODT”. Hal ini menunjukkan trend badan wanita kurus dengan pinggang ramping yang dulu di puja-puja perlahan menghilang dengan dinormalisasikannya tubuh gemuk. (Instagram, 2022)

Banyak orang menganggap perubahan ini menimbulkan polemik. Salah satu insiden kontroversial dari gerakan body positivity yang terjadi baru-baru ini adalah ketika kartu “Don’t Weigh me” (Jangan Timbang Aku) dipublikasi dengan alasan untuk mengurangi stres, menentang cara diagnosa penyakit dengan menimbang berat badan, serta menganggap menjadi sehat bisa terlepas dari status berat badan. Kartu ini diberikan untuk mencegah seorang dokter dari menimbang berat badan orang yang membawa kartu. (edition.cnn.com, 27 Desember 2022)

Padahal menimbang berat badan diperlukan dalam melakukan pengecekan kesehatan setiap tahun karena mampu mempermudah pengambilan informasi seperti gejala awal penyakit, memonitor pertumbuhan atau progres kinerja tubuh serta sebagai data lengkap agar dokter mampu membuat keputusan yang tepat. Ahli kesehatan selalu mengingatkan, lebih baik mencegah penyakit daripada mengobati.

Sehingga isu ini menimbulkan pertanyaan, sebenarnya body positivity itu mengubah isi hati atau isi piring?

Jika kita berbicara mengenai body positivity, hal ini berhubungan erat dengan body image. Menurut Chas dan Pruzinky (Kinanti, 2010, dalam Maryam, S., & Ifdil, 2019), citra tubuh atau body image merupakan penilaian positif atau negatif seseorang terhadap tubuhnya. Penilaian ini dapat mempengaruhi hidup seseorang, seperti kebahagiaan dan kesehatan baik secara fisik maupun mental. Namun faktor lingkungan serta media yang terus mempromosikan tubuh ideal sebagai tubuh kurus dan ramping menyebabkan banyak wanita merasa tidak percaya diri dengan bentuk tubuhnya. Oleh Sastre (dalam Cohen, R., 2021:4 ) gerakan “body positivity” merupakan gerakan sosial yang digunakan untuk menantang standar kecantikan serta mempromosikan bahwa semua bentuk tubuh patut dihargai.

Banyak wanita merasa senang dan setuju dengan gerakan ini karena tidak perlu lagi merasa tertekan dengan ukuran tubuh. Body positivity movement bisa menaikkan rasa percaya diri wanita terhadap dirinya. Gerakan ini menampilkan model bertubuh biasa maupun berisi ke seluruh dunia sehingga wanita dapat mengubah mindsetnya untuk berhenti membanding-bandingkan tubuh sendiri dengan orang lain.

Menurut penelitian, ciri-ciri orang yang mempunyai gambaran tubuh positif adalah seseorang yang memiliki kesejahteraan psikologis, sosial, dan emosi (Swami, Weis, Barron, & Furnham, 2018, dalam Cohen R., 2021:6) lalu mampu menerima bagian tubuh yang tidak sesuai dengan standar dan dapat menyaring informasi agar tidak berakhir menyakiti perasaan diri sendiri (Tylka & Wood Barcalow, 2015, dalam Cohen R., 2021:6). Hal ini akan mengakibatkan seseorang memiliki rasa syukur dan bahagia terhadap tubuh yang dimiliki apa adanya.

Tapi, apakah self-acceptance saja cukup?

Self acceptance atau penerimaan diri didapatkan karena seseorang telah menerima kekurangan yang dimiliki, merasa percaya diri dan mampu menjalin hubungan baik dengan lingkungan sekitar. (Arican, Dundar, & Saldana, 2015, dalam Maryam, S. dan Ifdil, 2019:130). Hal ini diperkuat dengan penelitian yang

dilakukan oleh Ridha M.,(2012) pada mahasiswa Aceh (dalam Maryam, S. dan Ifdil, 2019:131) bahwa, body image berhubungan dengan penerimaan diri.

Menerima diri apa adanya bukanlah hal mudah, karena terkadang akan muncul keraguan terhadap kualitas diri lantaran merasa insecure dan terus membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Hal ini dapat mengakibatkan seseorang merasa ‘harus’ mengikuti trend agar semakin pede saat berbaur dengan individu lain. Maryam S., dkk, menemukan bahwa mahasiswi cenderung lebih sulit menerima diri saat melihat kelemahan yang ada pada diri sendiri. Tetapi perlu diingat bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan penerimaan diri penting dimiliki oleh setiap individu untuk menjadi percaya diri, sehingga dapat melakukan kegiatan dengan maksimal serta fokus pada pengembangan diri. Oleh karena itu, self-acceptance sebaiknya dibentuk sejak kecil dengan mengenal diri (menemukan jati diri) dan belajar mengelola emosi yang dibarengi bantuan dari orang terdekat.

Sampai sekarang, masih banyak kasus toxic tentang “usaha untuk menjadi kurus” yang beredar di media. Hal ini tidak mencerminkan body positivity karena inti dari gerakan ini adalah mencintai diri sendiri. Untuk mengubah ini, pola hidup sehat perlu dilakukan, salah satunya yaitu dengan melakukan GERMAS (Gerakan Masyarakat Sehat) yang disosialisasikan oleh kementrian kesehatan sejak 2017 bisa dijadikan sebagai panduan oleh masyarakat Indonesia.

Program ini terdiri dari; Pertama, melakukan aktivitas fisik. Penyebab penyakit kebanyakan adalah karena kurangnya pengeluaran tenaga/energi sehingga sangat penting untuk melakukan gerakan yang dapat menghasilkan keringat setiap hari. Menurut kementerian kesehatan, ada 3 jenis aktivitas fisik yang dapat dilakukan, yaitu: aktivitas fisik harian seperti kegiatan mengurus rumah, latihan fisik yang dilakukan secara terencana seperti aerobik, serta olahraga yang memiliki aturan seperti sepak bola. Kedua, makan buah dan sayur. Makan buah dan sayur setiap hari sangat penting karena keduanya mengandung serat, vitamin dan mineral yang mengatur pertumbuhan serta pemeliharaan tubuh. Ketiga, melakukan cek

kesehatan berkala. Melakukan check-up ke dokter tidak harus dilakukan saat sedang sakit saja, melainkan perlu dilakukan setidaknya sekali setahun untuk mengetahui kondisi tubuh dan dapat mendiagnosis ciri-ciri penyakit yang mungkin timbul.

Sehingga dengan melakukan panduan di atas, secara otomatis akan terjadi perubahan pada pola hidup yang lebih sehat dan tentunya dengan kualitas hidup yang lebih baik, kesehatan dapat tercapai. Seseorang akan menjadi lebih percaya diri, mampu menerima diri apa adanya, dan berfokus untuk mengembangkan inner beautynya. Gerakan body positivity adalah sebuah gerakan untuk mengedukasi masyarakat menanamkan pola berpikir yang positif terhadap diri sendiri untuk menerima, merasa nyaman, dan mencintai apapun kondisi tubuh sendiri apa adanya. Dalam kampanye body positivity harus mampu mengelola emosional seperti membangun rasa percaya diri dengan menerima perubahan tubuh yang terjadi karena kondisi tertentu seperti pubertas, ataupun karena suatu penyakit, tidak membandingkan kondisi tubuh sendiri dengan orang lain atau merasa tertekan untuk memenuhi standar kecantikan ideal yang berlaku di masyarakat. Jika tidak mensyukuri dan menghargai kondisi tubuh apa adanya maka akan beresiko mengalami gangguan mental seperti depresi.

Namun hal di atas belum cukup, harus diimbangi pula dengan melakukan perawatan kesehatan tubuh dengan melakukan aktivitas fisik seperti mengurus

rumah, berolahraga, pola makan yang sehat seperti makan sayuran dan buah- buahan, dan melakukan check up kesehatan secara rutin seperti yang

disosialisasikan oleh kementerian kesehatan yang disebut dengan GERMAS.

Maka gerakan body positvity itu dapat dicapai dengan sehat jika mengubah isi hati dan isi piring.

DAFTAR PUSTAKA

Cohen, R., Newton-John, T., & Slater, A. (2021). The case for body positivity on social
media: Perspectives on current advances and future directions. Journal of Health Psychology,
26(13), 2365–2373. doi: https://doi.org/10.1177/1359105320912450. Diakses 27 Desember
2021.
Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI.
(2017). GERMAS-Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. DKI Jakarta, Indonesia: Author.
Goodwin, A. (2021). ‘Don’t Weigh me’ cards aim to reduce stress at the doctor’s office.
Retrieved from https://edition.cnn.com/2021/12/22/health/dont-weigh-me-cards-wellness
https://www.instagram.com/
Maryam, S., & Ifdil (2019). Hubungan body image dengan penerimaan diri mahasiswa putri
Relationship between body image and self-acceptance of female students. Jurnal Aplikasi
IPTEK Indonesia, 3(3), 2019. 129-136. DOI: https://doi.org/10.24036/4.13148. Diakses 15
Januari 2022.
Puhl, M.R., & Heuer, C.A. (2010). Obesity Stigma: Important Considerations for Public
Health. Am J Public Health, 100(6), 1019-1028. doi: 10.2105/AJPH.2009.159491. Diakses 9
Januari 2022.