Penulis : Angelina Malya Talitha Wasitadewi dan Gregorius Suryaatmaja Munandar
[masterslider id=”9″]
Pernahkah anda melihat posting atau iklan di media sosial dengan tagar body positivity? Belakangan ini media sosial digemparkan dengan gerakan body positivity yang menampilkan foto wanita dengan bentuk tubuh yang beragam. 9.5 juta postingan di media sosial yang menggunakan tagar body positivity ini, sebagian besar menampilkan wanita bertubuh gemuk. Eits, tunggu dulu. Sebelum kita membahas lebih dalam mengenai topik ini, kita perlu tahu apa itu body positivity. Body positivity merupakan suatu gerakan untuk menanamkan pentingnya berpikir positif dan berpandangan baik terhadap tubuh kita sendiri. Gerakan ini bersifat melawan stigma yang ada di masyarakat mengenai standar kecantikan dan perlakuan tidak adil terhadap individu yang jauh dari standar kecantikan tersebut. Body positivity juga identik dengan postingan yang menampilkan foto tubuh yang gemuk. Kita sadar bahwa obesitas disebabkan oleh gangguan makan, contohnya pola makan yang tidak sehat, tidak teratur, bahkan makan berlebihan, apalagi jika disertai dengan mager alias malas gerak, atau bisa dikatakan tubuh kurang beraktivitas sehingga terjadi penimbunan lemak. Jadi jika kita melihat postingan-postingan bertagar body positivity seperti ini, tidak menutup kemungkinan bahwa kita akan berpikiran: “Oh, rupanya body positivity adalah menerima bentuk tubuh apa adanya termasuk obesitas. Jadi aku tidak harus olahraga, dong!” That brings us to our topic: jadi apakah body positivity lumrah digunakan untuk mendorong orang mencintai dirinya sendiri dengan kondisi tubuh yang cenderung gemuk bahkan obesitas? Ataukah gerakan body positivity justru mengajak orang-orang untuk meninggalkan pola hidup sehat dan beralih ke era mager? Gerakan body positivity pada awalnya muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap masyarakat yang mendiskriminasi orang-orang yang tidak sesuai dengan standar kecantikan. Contohnya, orang-orang dengan berat badan berlebih. Orang-orang dengan berat badan berlebih seringkali tidak mendapat kesempatan sebanyak orang-
orang dengan berat badan ideal. Misalnya saja, dalam hal pekerjaan. Seberapa sering kalian melihat lowongan kerja dengan syarat “berpenampilan menarik”? Peran media dalam penetapan standar kecantikan sangat besar. Dengan mempromosikan tentang fisik yang sempurna yang dimiliki oleh para selebritis, media menggiring opini masyarakat untuk menyetujui beauty standard tersebut. Standar kecantikan dalam masyarakat yang sulit diwujudkan oleh pada remaja membuat mereka mengalami self-objectification. Self-objectification terjadi ketika seseorang menganggap tubuh sebagai objek yang dapat dilihat dan dievaluasi, menginternalisasi standar yang ada di masyarakat seakan-akan standar tersebut berasal dari diri sendiri, serta percaya bahwa standar tersebut dapat dicapai meskipun dihadapkan oleh bukti yang bertentangan (McKinley & Hyde, 1996). Berusaha supaya masalah ini hilang, berarti berusaha pula untuk melawan patriarki. Wanita mengalami lebih banyak diskriminasi berat badan daripada pria (Puhl, Andreyeva dan Brownell, 2008). Pandangan masyarakat bahwa wanita merupakan objek bukanlah hal baru, apalagi di Indonesia. Wanita seringkali dicap sebagai makhluk yang hanya berguna di tiga tempat: dapur, sumur, dan kasur. Pandangan seperti ini tanpa sadar membuat wanita hidup demi kepuasan pria semata. Hal ini berarti standar kecantikan yang makin tidak realistis dan menurunnya kepuasan wanita terhadap dirinya sendiri. Menurut Sexual Objectification Theory (Fredrickson & Roberts, 1997), objektifikasi pada wanita bisa berujung pada depresi dan disfungsi seksual. Namun meskipun asal muasal objektifikasi ini adalah dari budaya patriarki atau laki-laki, perempuan juga bisa saling mengobjektifikasi. Contohnya seperti celetukan, “Ih, jadi perempuan kulitnya jangan gelap gitu dong! Nanti nggak laku!” Singkatnya, karena objektifikasi sudah menjadi budaya, maka tanpa sadar kita semua melakukannya. Body positivity juga turut berperan dalam mengembangkan body image. Body image tersusun atas elemen sikap evaluasi dan elemen keyakinan, dimana kedua elemen tersebut menimbulkan rasa puas atau tidak puas dengan keadaan bentuk tubuh yang dimiliki. Jika tingkat kepuasan body image individu tinggi maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut memiliki body satisfaction sebaliknya apabila tingkat
kepuasan body image individu rendah maka dikatakan individu tersebut mengalami body dissatisfaction (Cash & Pruzinsky dalam Marshall & Lengyell, 2012). Sebelumnya, seperti yang kita ketahui bahwa kasus bullying di kalangan remaja, sebagian besar disebabkan karena faktor kekurangan atau kelemahan pada fisik seseorang yang tidak sesuai dengan standar kecantikan. Istilah “si gendut”, “si kribo”, “si bogel” yang merupakan bentuk perundungan verbal, sering kita dengar di kehidupan sehari-hari. Bagi korban, hal ini bisa menimbulkan turunnya kepercayaan diri. Jika kita jabarkan satu persatu, macam-macam kekurangan yang tampak pada tubuh manusia, contohnya adalah proporsi tubuh, warna kulit, bentuk wajah, jenis rambut, bahkan cacat pada bagian tubuh yang bisa jadi sudah ada sejak lahir, atau karena kecelakaan dan lain sebagainya. Tidak hanya bentuk tubuh, ternyata warna kulit juga penyebab insecure. Di Indonesia sendiri akhir-akhir ini banyak sekali wanita yang mengarahkan kiblat kecantikannya pada standar kecantikan versi artis Korea. Kulit putih terawat, rambut lurus panjang, tubuh kurus, hidung mancung, dan mata bulat menjadi idaman para wanita. tanpa disadari bahwa sebenarnya tidak semua wanita Korea memiliki fisik seperti itu. Sebagian besar artis Korea justru melakukan operasi pada wajahnya karena mereka sendiri tidak memenuhi standar kecantikan tersebut. Standar kecantikan yang ditetapkan tidaklah realistis. Keresahan inilah yang membuat aktivisme body positivity bermunculan. Pada dasarnya, body positivity mengajak kita untuk lebih menerima dan menyayangi diri sendiri apa adanya, baik dari segi bentuk, ukuran, maupun kekurangan-kekurangan lain yang tampak pada tubuh kita. Akhirnya tujuan dari gerakan ini adalah terjaganya kesehatan mental. Bicara tentang kesehatan mental, sebenarnya apa itu kesehatan mental? Dan seperti apa mental yang sehat? Kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya (Pieper & Uden, 2006).
Namun tentu saja, akan selalu ada kritikan. Beberapa orang berpendapat bahwa gerakan body positivity akan mempromosikan obesitas, karena banyaknya penderita obesitas yang tampil dalam gerakan ini. Wajar saja, bahaya obesitas memang sedang mengintai dunia saat ini. Di Indonesia sendiri, 13,5% orang dewasa mengalami kelebihan berat badan, sementara 28,7% mengalami obesitas (Kemenkes, 2018). Obesitas disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya pola makan, pola aktivitas fisik, faktor genetik, faktor obat-obatan, dan faktor hormonal. Lingkar pinggang di atas 102 cm untuk pria dan 88 cm untuk wanita bisa menandakan risiko terkena diabetes tipe 2, penyakit jantung, dan hipertensi (McWhorter, 2020). Kegemukan dan obesitas merupakan faktor risiko utama untuk penyakit tidak menular seperti: penyakit kardiovaskular (terutama penyakit jantung dan stroke), yang merupakan penyebab utama kematian pada 2012; diabetes; gangguan musculoskeletal (terutama osteoartritis – penyakit degeneratif sendi yang sangat melumpuhkan); beberapa kanker (termasuk endometrium, payudara, ovarium, prostat, hati, kandung empedu, ginjal, dan usus besar) (Fruh, 2017; WHO, 2019b). Kita lihat kembali tujuan asli dari body positivity. Tujuan gerakan ini adalah untuk mengembangkan body image secara positif, memberantas diskriminasi, dan mengajak orang-orang untuk menerima kondisi tubuhnya. Dengan demikian kesehatan mental terjaga. Dan jangan lupa, body positivity adalah gerakan yang menjunjung tinggi kesehatan, baik jiwa dan raga. Dengan adanya body positivity, orang-orang diajak untuk menjalani pola hidup sehat tanpa harus punya pandangan negatif terhadap tubuhnya sendiri. Misalnya jika kita kelebihan berat badan, body positivity mengajak kita untuk punya pola makan sehat dan berolahraga tanpa harus membandingkan diri dengan model-model yang ada di majalah. Do it for yourself! Jadi, siapa bilang body positivity mempromosikan obesitas?
Daftar Pustaka
Cohen, R., Newton-John, T., & Slater, A. (2021). The case for body positivity on social
media: Perspectives on current advances and future directions. Journal of health
psychology, 26(13), 2365-2373.
McWhorter, K. L. (2020). Obesity Acceptance: Body Positivity and Clinical Risk
Factors. Cardiac Diseases. IntechOpen.
Godoy-Izquierdo, D., González-Hernández, J., Rodríguez-Tadeo, A., Lara, R., Ogallar,
A., Navarrón, E., … & Arbinaga, F. (2020). Body satisfaction, weight stigma,
positivity, and happiness among Spanish adults with overweight and obesity.
International journal of environmental research and public health, 17(12),
4186.
Szymanski, D. M., Moffitt, L. B., & Carr, E. R. (2011). Sexual objectification of
women: Advances to theory and research 1ψ7. The Counseling Psychologist,
39(1), 6-38.
Sugiatmi, S., Rayhana, R., Suryaalamsah, I. I., Rahmini, R., Akbar, Z. A.,
Harisatunnasyitoh, Z., … & Naufal, F. R. (2019, December). PENINGKATAN
PENGETAHUAN TENTANG KEGEMUKAN DAN OBESITAS PADA
PENGASUH PONDOK PESANTREN IGBS DARUL MARHAMAH DESA
JATISARI KECAMATAN CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR JAWA
BARAT. In Prosiding Seminar Nasional Pengabdian Masyarakat LPPM UMJ.
Astila, S., Lukman, L., & Murdiana, S. (2021). Hubungan antara Self-Compassion
dengan Self-Objectification Pada Remaja Pengguna Instagram di Makassar.
Jurnal Talenta Mahasiswa, 1(1).