Penulis: Ferdinand Geraldo Lie & Jennifer Lee
[masterslider id=”11″]
Seperti yang kita ketahui, di zaman modern sekarang ini banyak sekali tantangan dan ekspektasi yang diberikan kepada kita dengan bentuk yang berbeda-beda. Salah satunya adalah standar kecantikan mengenai tubuh yang ideal. Standar kecantikan ini membuat individu, khususnya wanita kerap mengalami diskriminasi di lingkungan masyarakat. Keadaan ini membuat banyak wanita mencari kesempurnaan dengan mendambakan tubuh yang ideal, juga membandingkan tubuh mereka dengan tubuh orang lain yang dianggapnya sempurna.
Dalam teori psikoanalisis sosial Karen Horney, manusia memiliki kebutuhan akan kesempurnaan, menjadikan diri ideal sebagai bagian dari hidup mereka. Karen Horney (2017) berpendapat bahwa kebutuhan akan kesempurnaan mendorong orang neurotik untuk mengubah keseluruhan kepribadian menjadi diri ideal. Akibat dari mencari kesempurnaan tersebut, sebagian besar tidak berhasil memenuhi ekspektasi masyarakat dan berujung pada dampak negatif, seperti stres. Stres mengenai citra tubuh memiliki korelasi dua arah yang dapat mengakibatkan penurunan harga diri dan depresi (Murray, Byrne, & Rieger, 2011).
Tingkat stres yang tinggi akibat tubuh yang tidak memenuhi ekspektasi masyarakat memunculkan suatu gerakan yang disebut body positivity. Body positivity awalnya merupakan gerakan yang dirancang untuk mengkampanyekan penerimaan terhadap orang dengan tubuh yang tidak ideal, namun dalam beberapa tahun terakhir menjadi dorongan untuk mencintai diri sendiri terlepas dari apapun bentuk tubuh yang dimiliki (Frazier & Mehdi, 2021). Body positivity tidak berfokus pada citra tubuh kita, melainkan terhadap cara kita mengembangkan penampilan tubuh, dan bagaimana kita menerimanya dengan apa yang dapat kita lakukan untuk tubuh kita sendiri (Slaughter, 2019). Seiring berkembangnya media sosial, terdapat banyak individu yang mengalami kesalahpahaman mengenai
esensi dari body positivity, salah satunya adalah menganggap body positivity sebagai gerakan yang mempromosikan obesitas.
Gerakan body positivity dipandang sebagai gerakan yang mempromosikan obesitas karena anggapan bahwa gerakan ini menormalisasi kelebihan berat badan hingga ke tingkat obesitas. Berdasarkan data Health Survey for England, 38,5% pria dan 17,2% wanita dengan kelebihan berat badan atau obesitas menganggap berat badan mereka sebagai berat yang ideal (Muttarak, 2018). Esai ini akan mendiskusikan hubungan antara gerakan body positivity dengan obesitas, mengingat telah terjadi peningkatan jumlah individu yang mengalami obesitas sebagai dampak dari adanya gerakan ini. Melalui esai ini diharapkan masyarakat memiliki pandangan yang tepat mengenai gerakan body positivity serta dampak positifnya bagi kesehatan mental seseorang.
Berdasarkan fakta yang ada, gerakan body positivity tidak mempromosikan obesitas. Body positivity membahas penerimaan tubuh yang sudah dimiliki agar merasa lebih percaya diri. Tipe tubuh apapun yang dimiliki seseorang pasti akan masuk ke dalam body positivity jika pemiliknya mampu menerima tubuhnya dengan percaya diri. Sementara, obesitas hanya terpaku pada kelebihan berat badan atau kegemukan.
Sesuai dengan konsep body positivity yang telah disampaikan, gerakan ini ada dan terbentuk dengan tujuan yang positif. Natalie Slaughter (2019) berpendapat bahwa body positivity merupakan suatu konsep yang dapat membantu seseorang mengapresiasi tubuh mereka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, apresiasi diartikan sebagai kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah. Sehingga body positivity melihat bagaimana cara seseorang mampu menghargai tubuh berdasarkan nilai dan fungsinya.
Obesitas sangat bertolak belakang dengan konsep menghargai tubuh. Peningkatan obesitas secara global akan memiliki dampak penting bagi peningkatan kasus penyakit kardiovaskular, diabetes melitus tipe 2, kanker, osteoartritis, cacat kerja, dan apnea tidur di seluruh dunia (Visscher & Seidell, 2001). Individu yang menghargai tubuhnya seharusnya mampu menjaga tubuhnya dengan baik serta menjaga tubuh tetap berfungsi secara optimal. Dengan membiarkan tubuh berada pada tingkat obesitas, seseorang secara sadar merusak tubuhnya secara perlahan, jauh dari konsep menghargai nilai suatu tubuh.
Body positivity muncul karena keprihatinan akan kondisi yang mendiskriminasi orang dengan tubuh tidak ideal, termasuk diskriminasi dalam pekerjaan dan penanganan medis. Berat badan dapat menjadi penghalang utama untuk perawatan kesehatan, secara bias mengaburkan penilaian medis (Can, 2020). Diskriminasi yang dialami seseorang dapat menimbulkan gangguan kesehatan mental bagi penerimanya. Berdasarkan laporan dari peristiwa diskriminasi yang telah terjadi, diskriminasi dikaitkan dengan beberapa indikator kesehatan mental, seperti self-diagnosis kesehatan mental, harga diri, kebahagiaan, depresi, dan gangguan kecemasan umum (Gee, Spencer, Chen, Yip, & Takeuchi, 2007).
Di zaman yang sudah maju seperti sekarang ini, diskriminasi dan body shaming terhadap tubuh orang lain masih kerap terjadi, bahkan jauh lebih kejam karena hal tersebut dapat dilakukan secara anonim melalui internet yang dapat menyebar dengan cepat. Korean Pop sebagai genre musik yang belakangan ini digemari anak muda pun juga menjadi saksi akan adanya body shaming di zaman modern ini. Yoo Jeongyeon, anggota girl group Twice merupakan salah satu idola K-Pop yang terkena body shaming baru-baru ini. Akibatnya, Jeongyeon memutuskan hiatus sementara dari dunia hiburan karena mengalami gangguan kesehatan mental.
Munculnya gerakan body positivity diharapkan memunculkan pandangan baru yang positif mengenai citra tubuh seseorang. Tujuan akhir dari gerakan body positivity sendiri adalah untuk mempromosikan penerimaan diri dan membangun
harga diri melalui peningkatan citra diri seseorang dan belajar untuk mencintai diri sendiri sepenuhnya (Cwynar-Horta, 2016). Dengan adanya body positivity, tingkat diskriminasi dapat menurun karena pandangan masyarakat yang telah berubah. Selain itu, upaya untuk mencintai diri sendiri sepenuhnya juga membuat orang-orang belajar untuk tidak mendengarkan hinaan orang lain mengenai tubuh mereka. Dengan alasan tersebut, sangat jelas bahwa gerakan body positivity memegang peranan penting dalam mendukung kesehatan mental.
Tentunya dengan meningkatkan kesadaran body positivity di lingkungan sekitar, kita dapat membantu individu-individu lain yang sebelumnya belum teredukasi. Sehingga, mereka juga mendapatkan pengetahuan yang berguna dan dapat diaplikasikan di lingkungan sekitarnya. Orang yang menyadari akan body positivity dapat memecahkan persepsi orang lain akan kesempurnaan diri, mendengarkan apa yang dibutuhkan oleh tubuhnya, dan menjaga citra tubuh yang sehat.
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengenalkan body positivity, salah satu solusinya adalah mengadakan acara atau lomba seperti kampanye body positivity, lomba esai atau vlog mengenai body positivity, dan sebagainya. Hal tersebut dapat digunakan untuk mengedukasi orang yang belum memahami konsep body positivity. Di tahun 2012, Tess Holliday menemukan akun Instagram @effyourbeautystandards yang mengadakan aksi terhadap pesan di sosial media, dimana hal ini merupakan salah satu contoh nyata bahwa kita dapat menyebarluaskan body positivity di zaman modern (Cwynar-Horta, 2016). Sehingga, kita dapat mengenal body positivity lebih dalam dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari seperti contoh di atas.
Setelah melihat kembali esensi dari body positivity yang sebenarnya, sangat keliru jika dikatakan body positivity adalah gerakan yang mempromosikan obesitas. Pada kenyataannya, gerakan body positivity mengajak setiap orang untuk menerima tipe tubuh apapun, sedangkan obesitas hanya berfokus pada kelebihan berat badan. Selain itu, body positivity mengajak setiap individu untuk
mengapresiasi tubuh mereka, padahal orang dengan obesitas tidak mengapresiasi tubuhnya karena obesitas dapat menghambat fungsi tubuh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa body positivity tidak mempromosikan obesitas, justru sangat bertolak belakang dari prinsip “mempromosikan obesitas”.
Dengan adanya body positivity, setiap individu diharapkan semakin percaya diri dengan bentuk dan rupa tubuhnya. Munculnya body positivity dapat menurunkan angka diskriminasi yang terjadi kepada orang-orang yang tubuhnya dianggap tidak ideal. Penurunan angka diskriminasi ini akan berdampak pada menurunnya angka gangguan kesehatan mental, sebab pandangan masyarakat telah berubah. Sesuai namanya, body positivity akan selalu menjadi gerakan positif yang ada di tengah-tengah masyarakat, dan pandangan negatif muncul akibat mispersepsi dari masyarakat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Nurjanah, I. (2021). Perancangan Komunikasi Visual Body Positivity Campaign
Fat Heart Club Melalui Instagram (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia
Yogyakarta).
Regita, R.D., & Indarti, T. (2021). KONFLIK INTRAPSIKIS TOKOH UTAMA
DALAM NOVEL-NOVEL KARYA SYAHID MUHAMMAD (TEORI
PSIKOANALISIS KAREN HORNEY), Jurnal Bapala, 8(06), 57-68.
Murray, K. M., Byrne, D. G., & Rieger, E. (2011). Investigating adolescent stress
and body image. Journal of adolescence, 34(2), 269-278.
Frazier, C., & Mehdi, N. (2021). Forgetting Fatness: The Violent Co-Optation of
the Body Positivity Movement. Debates in Aesthetics, 16(1), 13-28.
Slaughter, N. (2019). How can Storytelling Facilitate Body Positivity in Young
Women Struggling with their Bodies?: Literature Review. Expressive Therapies
Capstone Theses, 119, 1-32.
Muttarak, R. (2018). Normalization of plus size and the danger of unseen
overweight and obesity in England. Obesity, 26(7), 1125-1129.
Visscher, T. L., & Seidell, J. C. (2001). The public health impact of obesity.
Annual review of public health, 22(1), 355-375.
What Can, I. (2020, April 12). Body Positivity, Artistic Expression, and Mental
Health. Sheri’s Herbs. https://sherisherbs.com/2020/12/04/body-positivity-artistic-
expression-and-mental-health/.
Gee, G. C., Spencer, M., Chen, J., Yip, T., & Takeuchi, D. T. (2007). The
association between self-reported racial discrimination and 12-month DSM-IV
mental disorders among Asian Americans nationwide. Social science & medicine,
64(10), 1984-1996.
Cwynar-Horta, J. (2016). The commodification of the body positive movement on
Instagram. Stream: Culture/Politics/Technology, 8(2), 36-56.
apresiasi. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 29 Des 2021, dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/apresiasi.